Rokan Hulu, Riau Dalam Sejarah

Sejarah Kabupaten Rokan Hulu Zaman Penjajahan Belanda
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
  1. Wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
  2. Wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kobun)
Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah. Kerajaan-kerajaan tersebut dikendalikan oleh Kerapatan Ninik Mamak, sementara untuk penyelenggaraan pemerintahan di kampung-kampung diselenggarakan oleh Penghulu Adat. Sering dikenal dengan istilah ‘Raja itu dikurung dan dikandangkan oleh Ninik Mamak’. Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari pihak Belanda.
Istana Raja Rokan
Pada masa penjajahan Belanda tersebut, bermunculan tokoh-tokoh Islam yang anti dengan Belanda. Beberapa diantarnya yang cukup fenomenal dan dikenang oleh masyarakat Riau dan nasional adalah Tuanku Tambusai, Sultan Zainal Abidinsyah, Tuanku Syekh Abdul Wahab Rokan dan sebagainya. Perjuangan para tokoh tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah seperti Benteng Tujuh Lapis yang merupakan benteng yang dibuat masyarakat Dalu-dalu atas perintah dari Tuanku Tambusai. Beberapa bukti sejarah lainnya adalah Kubu jua, Kubu manggis, Kubu joriang dan sebagainya.

Sejarah Kabupaten Rokan Hulu Zaman Penjajahan Jepang
Setelah Belanda mengalami kekalahan dengan Jepang, Jepang pun berkuasa di Indonesia termasuk di daerah Rokan Hulu. Pada masa Jepang, pemerintahan berjalan sebagaimana biasanya. Akan tetapi setelah beberapa orang raja ditangkap oleh penjajah Jepang, maka pemerintahan dilanjutkan oleh seorang ‘kuncho’ yang diangkat langsung oleh pihak Jepang.

Sejarah Kabupaten Rokan Hulu Zaman Pasca Kemerdekaan RI
Setelah kemerdekaan, daerah-daerah yang dijadikan landscape oleh Belanda dan Jepang tersebut dijadikan sebagai satu daerah Kecamatan. Sebelum menguatnya isu pemekaran daerah di Indonesia pada tahun 1999, Rokan Hulu tergabung dalam Kabupaten Kampar, Riau. Kabupaten Rokan Hulu resmi didirikan pada tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan beberapa landasan hukum, diantaranya adalah:
  1. UU Nomor 53 tahun 1999 dan UU No 11 tahun 2003 tentang perubahan UU RI No 53 tahun 1999.
  2. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 010/PUU-1/2004, tanggal 26 Agustus 2004.
Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat. Rokan Hulu pada masa ini juga diistilahkan sebagai ‘Teratak Air Hitam’ yakni Rantau Timur Minangkabau di sekitar daerah Kampar sekarang. Hal ini mengakibatkan masyarakat Rokan Hulu saat ini memiliki adat istiadat serta logat bahasa yang masih termasuk ke dalam bagian rumpun budaya Minangkabau. Terutama sekali daerah Rao dan Pasaman dari wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sementara di sekitar Rokan Hulu bagian sebelah Utara dan Barat Daya, terdapat penduduk asli yang memiliki kedekatan sejarah dan budaya dengan etnis Rumpun Batak di daerah Padang Lawas di Propinsi Sumatera Utara. Sejak abad yang lampau, suku-suku ini telah mengalami Melayunisasi dan umumnya mereka mengaku sebagai suku Melayu.

Benteng Tujuh Lapis merupakan salah satu bukti sejarah otentik pergerakan perlawanan penjajahan Belanda yang diusung oleh pahlawan nasional asal Rokan Hulu yakni Tuanku Tambusai. Benteng ini dibuat dari tanah dengan lapisan bambu dan aur berduri. Bekas benteng tersebut ditinggalkan oleh Tuanku Tambusai pada tanggal 28 Desember 1839. Di sekitar daerah Dalu-Dalu juga terdapat beberapa benteng-benteng yang disebut kubu dari istana bekas kerajaan. Disamping bukti-bukti sejarah yang dimilikinya, Rokan Hulu juga memiliki berbagai pesona alam yang layak untuk Anda kunjungi. Salah satu objek wisata alam yang terkenal di Rokan Hulu adalah Air Terjun Aek Matua yang terletak di Kecamatan Bangun Purba. Merupakan objek wisata air terjun bertingkat-tingkat atau sering juga disebut air terjun tangga seribu. Tak jauh dari lokasi air terjun tersebut, terdapat pula kuburan pertapa Cipogas yang juga dilengkapi air terjun yang bertingkat-tingkat. Sebuah pemandangan alam yang mengagumkan.

Pahlawan Nasional Dari Rokan Hulu
Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh pejuang dari Rokan Hulu dalam Perang Paderi di awal abad ke XIX. Pada masa itu daerah Rokan Hulu masih bagian integral dari wilayah Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Setelah jatuhnya Benteng Bonjol dan penangkapan terhadap Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837, maka perjuangan kaum Paderi dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai sebagai panglima terakhir yang masih tersisa bersama sisa laskar Paderi bertahan di benteng terakhir kaum Paderi di daerah Dalu-Dalu Rokan Hulu. Benteng ini pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1838 setelah digempur selama hampir 1 tahun. Dengan jatuhnya benteng tersebut, berakhirlah era Perang Paderi di seluruh wilayah adat Minangkabau.

Peninggalan Sejarah Kabupaten Rokan Hulu
Benteng tujuh lapis Dalu-dalu.
Makam Raja-Raja Rambah.
Istana Rokan.

Air Terjun Aek Martua (Rokan Hulu, Riau)

Air terjun Aek Mertua
Air Terjun Aek Martua ini adalah salah satu wisata unggulan di kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Provinsi Riau Indonesia. Aek Martua adalah nama sebuah sungai di wilayah Desa Tangun Kecamatan Bangun Purba dan Air Terjun Aek Martua adalah air terjun yang tertinggi dari sekian banyak air terjun yang terdapat disepanjang hulu sungai. Bukit Simalombu inilah nama kawasan ini yang merupakan hutan alam berstatus Taman Hutan Raya dengan potensi pohon ratusan kubik. Nama Aek Martua berasal dari bahasa suku Mandailing yang artinya adalah Air Bertuah, dimana mayoritas penduduk desa ini adalah suku mandailing.

Lokasi air terjun Aek Martua berada di kawasan pegunungan Bukit Barisan dalam kabupaten Rokan Hulu. Air Terjun Aek Martua ini memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri karena memiliki tiga tingkat. Aek Mertua ini memiliki panorama alam yang mempesona. Airnya yang jernih bak kemasan air mineral, sungguh membuat sedap mata memandang. Di samping menjadi obyek wisata, sekarang Aek Martua ini, telah pula menjadi objek penelitian oleh sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Pekanbaru.

Untuk mengunjungi Air Terjun Aek Martua ini anda dari Pekanbaru – Pasir Pengaraian ( naik angkutan L300 atau Superban Rp. 35.000) turun di Simpang Tangun. Kemudian naik angkutan menuju Tangun dengan jenis Oplet dan Omprengan Rp. 5000. Di pintu masuk objek wisata ini mulai melewati jembatan gantung dan jalan setapak di perkebunan masyarakat sejauh kurang lebih 3, 5 Km, kemudian melewati kawasan hutan lindung sejauh kurang lebih 3 Km. terdapat tanjakan dan turunan yang lumayan curam serta pemandangan indah. Panorama hutan yang masih alami akan menemani kita menuju Air Terjun Aek Martua ini.

Gong Xi Fa Cai!

Ingat Imlek, biasanya terus ingat Ang Pao. Perayaan Imlek emang identik banget sama angpao dan segala pernak-pernik berwarna merah. Orang Tionghoa percaya kalau berbagi rejeki dengan membagi-bagi angpao bisa melancarkan pintu rejeki. Wah... memang sih, kalau ada rejeki sebaiknya dibagi-bagi juga untuk orang disekitarnya ya bro..!

Ya, semoga rejeki di tahun ular air ini memang semakin berlimpah ya. Nah, buat Teman teman yang merayakan Imlek, Saya  mengucapkan: 

Gong Xi Fa Cai!
Selamat Tahun Baru Imlek


 
Perayaan tahun baru Imlek 2564 di kawasan Klenteng, di Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatra Barat, dilaksanakan secara sederhana. Warga berharap di tahun ular air ini perekonomian dan kesejahteraan lebih baik.

Ratusan warga keturunan lebih banyak sembahyang dan berdoa di rumah ibadah dan klenteng. Mereka juga menyalakan pelita dan melepaskan burung sebagai simbol kebangkitan dari tahun ke tahun.

Perayaan tahun ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu menjelang detik-detik pergantian tahun warga melaksanakan sejumlah pertunjukan dan atraksi kebudayaan dan kembang api.

Warga Tionghoa di Kota Padang berharap di tahun baru Imlek 2564 ini lebih baik dari tahun sebelumnya.

Suku Orang Minangkabau


Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan istilah suku. Menurut tambo alam Minangkabau, di masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah:
Suku Koto

A. A. Navis dalam bukunya berjudul "Alam Terkembang Jadi Guru" menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. di dalam benteng ini terdapat pula pemu****n beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung. Dahulu Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, dimana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar karena diagungkan oleh orang banyak),sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang "tagak samo tinggi, duduka samo randah" Suku Koto

Suku Piliang
Menurut AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yaitu 'Pele' artinya 'banyak' dan 'Hyang' artinya 'Dewa atau Tuhan'.[1] jadi Pelehyang artinya adalah banyak dewa. Ini menunjukkan bahwa di masa lampau, suku Piliang adalah suku pemuja banyak dewa, yang barangkali mirip dengan kepercayaan Hindu.
Ada juga versi yang mengatakan suku Piliang yang merupakan saudara dari suku Koto, yang cendrung disebut dengan Koto Piliang berasal dari Kato Pilihan. Koto berasal dari kato (Ucapan) dan Piliang berasal dari Pilihan, (Unggulan). jadi Koto Piliang adalah bersal dari Kato Pilihan. karena noya bene dalam Tambo Minangkabau Koto Piliang adalah pemegang tampuk kekuasaan (pemerintahan) karena DT. Katemanggungan berdarah bangsawan (rajo). Jadi dirunut dari situ adakalanya kato pilihan asal kata Koto Piliang ada benarnya, karena kata raja (penguasa) adalah kata-kata pilihan yang akan keluar dari mulunya.
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Piliang Guci (Guci Piliang di nagari Koto Gadang, Agam)
Pili di Nagari Talang, Sungai Puar (Agam)
Koto Piliang di nagari Kacang, Solok dan Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau Piliang Laweh di Tanjung Alam, Tanah Datar.(Piliang Lowe) di (Kuantan Singingi))
Piliang Sani (Piliang Soni) di Kuantan Singingi, Riau dan nagari Singkarak, Solok
Piliang Baruah
Piliang Bongsu,
Piliang Cocoh,
Piliang Dalam,
Piliang Koto,
Piliang Koto Kaciak,
Piliang Patar,
Piliang Sati
Piliang Batu Karang di nagari Singkarak, Solok
Piliang Guguak di nagari Singkarak, Solok
Piliang Atas (Kuantan Singingi))
Piliang Bawah (Kuantan Singingi))
Piliang Godang (Piliang Besar)
Piliang Kaciak (kecil)
Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau, Padang dan beberapa daerah lainnya.

Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan dan Solok Selatan.

Wilayah Rantau dari Suku ini telah mencapai Hampir seluruh Wilayah yang ada di Indonesia, yang mencakup wilayah Sumatra :.

wilayah Barat Riau, wilayah selatan Sumatra Utara, wilayah Tenggara, Selatan, Barat Aceh, Wilayah Utara Bengkulu,dan wilayah Selatan Jambi.
Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang bernaung, diantaranya adalah :

suku Tanjung
suku Guci
Suku Sikumbang
Suku Malayu
Suku Kampai
Suku Panai
Suku Bendang

Suku Piliang berdatuk kepada Datuk Ketumanggungan di zaman Adityawarman. Gelar-gelar kebesaran Adat dalam Pasukuan Piliang antara lain : DT. BANDARO BISO di Tanjung Alam, Tanah Datar DT. MANGKUTO RAJO LELO di Tanjung Alam Tanah Datar DT. BANDARO PANJANG

Suku Bodi
Suku Bodi merupakan salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minang yang juga merupakan sekutu dari Suku Caniago yang kemudian membentuk Adat Perpatih atau dikenal juga dengan nama Lareh Bodi Caniago. Menurut tambo Minangkabau, persekutuan ini didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Bodi berasal dari bodhi (sansekerta) yang maknanya berarti yang telah mendapat petunjuk[2]. Bodi dapat dirujuk kepada pohon Bodhi, yaitu sebuah pohon yang sangat penting bagi pertapa Buddhisme, dan kononnya dahulu masyarakat suku ini adalah penganut Buddha yang taat, serta suku ini sudah menempati wilayah kawasan Minang jauh sebelum datangnya agama Islam. Menurut tambo suku ini termasuk salah satu suku awal dalam tatanan masyarakat Minangkabau.
Seperti dalam tradisi Minang lainnya, penghulu suku selalu diberi gelaran datuk, beberapa gelaran datuk pada suku Bodi antara lain Datuk Sinaro Nan Pandak, Datuk Marajo Nan Rambayan di nagari Aie Tabik.
Masyarakat suku ini tersebar di wilayah darek (pedalaman Minangkabau) diantaranya pada kawasan kabupaten Tanah Datar, kabupaten Lima Puluh Kota dan kota Payakumbuh.
Dengan memperhatikan keterkaitan antar suku dalam masyarakat adat Minangkabau, suku Bodi tidak melakukan pemekaran, namun pada nagari tertentu suku ini bergabung dengan suku Caniago sehingga kemudian menjadi Suku Budi-Caniago atau Suku Bodi-Caniago, misalnya di kenagarian Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau.

Suku Caniago

Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah untuk mufakat.

Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk arsitektur rumah adat bodi Caniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada masyarakat suku Caniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang dipikul oleh orang tersebut.[rujukan?]

Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil keputusan pada suku caniago adalah "aia mambasuik dari bumi" artinya suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata mufakat barulah pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan tersebut.
Gelar Datuk Suku Caniago


Di antara gelar datuk suku ini adalah :

Datuk Rajo Penghulu
Datuak Manjinjiang Alam
Datuk Bandaro Sati
Datuk Rajo Alam
Datuk Kayo
Datuk Paduko Jalelo
Datuk Rajo Perak
Datuk Paduko Amat
Datuk Saripado Marajo
Datuk Pangulu Basa
Datuk Tan Basa
Datuak rangkayo kaciak